BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar belakang
Hukum waris islam adalah salah satu dari obyek yang dibahas dalam Hukum Perdata
Islam di Indonesia selain masalah munakahah dan muamalah. Masalah hukum waris
islam ini sangat penting sekali untuk difahami oleh umat muslim. Akan tetapi
seperti yang telah banyak kita ketahui, hukum waris islam di Indonesia sudah
mulai ditinggalkan oleh umat muslim. Karena hukum waris islam itu sendiri
dianggap sulit untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Semakin kompleknya
hubungan kekerabatan atau kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat menjadi
salah satu faktor yang menjadi penyebab hukum waris islam mulai ditinggalkan
masyarakat, dan mayoritas umat muslim sekarang ini menggunakan hukum waris yang
umum digunakan dalam masyarakat bukan hukum waris islam yang telah di atur
dalam Al-Qur’an dan juga As-sunnah.
Aturan tentang waris ini telah ditetapkan oleh Allah melalui Firman-Nya yang
terdapat dalam Al-Qur’an, terutama Surat An-Nisaa’ ayat 7, 8, 11, 12, dan 176,
pada dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan dengan kewarisan telah sangat
jelas maksud, arah dan tujuannya. Hal-hal yang memerlukan penjelasan, baik yang
sifatnya menegaskan ataupun merinci, telah disampaikan oleh Rasulullah saw
melalui hadistnya.
Timbulnya kebutuhan untuk mengetahui kejelasan ketentuan hukum kewarisan
tersebut tidak harus menunggu karena adanya sengketa perkara waris, akan tetapi
memang karena dari kesadaran kita sendiri untuk melaksanakan ketentuan hukum
waris itu sendiri sebagaimana menurut ketentuan hukum Islam. Mengingat sebagian
besar Bangsa Indonesia adalah penganut agama Islam, akan tetapi belum tentu
memiliki pengetahuan yang mantab tentang kewarisan Islam.
Maka dalam makalah ini kami akan mencoba memberikan penjelasan mengenai hukum
waris islam dengan menunjukkan ayat-ayat waris yang menjadi dasar hukum waris
dan hadits-haditsnya. Dan juga penjelasan mengenai pembahasan hukum waris yang
dilakukan oleh para Ulama’ klasik dan modern untuk memberikan jawaban atas
permasalahan kontemporer tentang hukum waris yang terjadi dalam masyarakat
modern saat ini.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa hak waris kaum wanita
sebelum islam?
2.
Apa Asbabun Nuzul ayat Waris?
3. Kajian terhadap ayat – ayat Waris?
C. Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk mengetahui Hak waris
kaum wanita sebelum islam
2.
Untuk mengetahui asbabunuzul
ayat waris
3.
Kajian terhadap ayat – ayat
waris
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hak Waris Kaum Wanita
Sebelum Islam
Sebelum Islam datang, kaum wanita sama sekali tidak
mempunyai hak untuk menerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua
ataupun kerabatnya). Dengan dalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang
membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan,
"Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta peninggalan) kepada
orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak mampu memanggul
senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh." Mereka mengharamkan
kaum wanita menerima harta warisan, sebagaimana mereka mengharamkannya kepada
anak-anak kecil.
Sangat jelas bagi kita bahwa sebelum Islam datang bangsa
Arab memperlakukan kaum wanita secara zalim. Mereka tidak memberikan hak waris
kepada kaum wanita dan anak-anak, baik dari harta peninggalan ayah, suami, maupun
kerabat mereka. Barulah setelah Islam datang ada ketetapan syariat yang memberi
mereka hak untuk mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami mereka
dengan penuh kemuliaan, tanpa direndahkan. Islam memberi mereka hak waris,
tanpa boleh siapa pun mengusik dan menentangnya. Inilah ketetapan yang telah
Allah pastikan dalam syariat-Nya sebagai keharusan yang tidak dapat diubah.
Ketika turun wahyu kepada Rasulullah saw. --berupa
ayat-ayat tentang waris-- kalangan bangsa Arab pada saat itu merasa tidak puas
dan keberatan. Mereka sangat berharap kalau saja hukum yang tercantum dalam
ayat tersebut dapat dihapus (mansukh). Sebab menurut anggapan mereka, memberi
warisan kepada kaum wanita dan anak-anak sangat bertentangan dengan kebiasaan
dan adat yang telah lama mereka amalkan sebagai ajaran dari nenek moyang.
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan sebuah kisah yang
bersumber dari Abdullah Ibnu Abbas r.a.. Ia berkata: "Ketika ayat-ayat
yang menetapkan tentang warisan diturunkan Allah kepada RasulNya --yang
mewajibkan agar memberikan hak waris kepada laki-laki, wanita, anak-anak, kedua
orang tua, suami, dan istri-- sebagian bangsa Arab merasa kurang senang
terhadap ketetapan tersebut. Dengan nada keheranan sambil mencibirkan mereka
mengatakan: 'Haruskah memberi seperempat bagian kepada kaum wanita (istri) atau
seperdelapan.' Memberikan anak perempuan setengah bagian harta peninggalan?
Juga haruskah memberikan warisan kepada anak-anak ingusan? Padahal mereka tidak
ada yang dapat memanggul senjata untuk berperang melawan musuh, dan tidak pula
dapat andil membela kaum kerabatnya. Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan
hukum tersebut. Semoga saja Rasulullah melalaikan dan mengabaikannya, atau kita
meminta kepada beliau agar berkenan untuk mengubahnya.' Sebagian dari mereka
berkata kepada Rasulullah: 'Wahai Rasulullah, haruskah kami memberikan warisan
kepada anak kecil yang masih ingusan? Padahal kami tidak dapat memanfaatkan
mereka sama sekali. Dan haruskah kami memberikan hak waris kepada anak-anak
perempuan kami, padahal mereka tidak dapat menunggang kuda dan memanggul
senjata untuk ikut berperang melawan musuh?'"
Inilah salah satu bentuk nyata ajaran syariat Islam dalam
menyantuni kaum wanita; Islam telah mampu melepaskan kaum wanita dari
kungkungan kezaliman zaman. Islam memberikan hak waris kepada kaum wanita yang
sebelumnya tidak memiliki hak seperti itu, bahkan telah menetapkan mereka
sebagai ashhabul furudh (kewajiban yang telah Allah tetapkan bagian
warisannya). Kendatipun demikian, dewasa ini masih saja kita jumpai pemikiran
yang kotor yang sengaja disebarluaskan oleh orang-orang yang berhati buruk.
Mereka beranggapan bahwa Islam telah menzalimi kaum wanita dalam hal hak waris,
karena hanya memberikan separo dari hak kaum laki-laki.
B. Asbabun Nuzul Ayat
Waris
Banyak riwayat yang mengisahkan
tentang sebab turunnya ayat-ayat waris, di antaranya yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim. Suatu ketika istri Sa'ad bin ar-Rabi' datang
menghadap Rasulullah saw. dengan membawa kedua orang putrinya. Ia berkata,
"Wahai Rasulullah, kedua putri ini adalah anak Sa'ad bin ar-Rabi' yang
telah meninggal sebagai syuhada ketika Perang Uhud. Tetapi paman kedua putri
Sa'ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad, tanpa meninggalkan
barang sedikit pun bagi keduanya." Kemudian Rasulullah saw. bersabda,
"Semoga Allah segera memutuskan perkara ini." Maka turunlah ayat
tentang waris yaitu (an-Nisa': 11).
Rasulullah saw. kemudian mengutus
seseorang kepada paman kedua putri Sa'ad dan memerintahkan kepadanya agar
memberikan dua per tiga harta peninggalan Sa'ad kepada kedua putri itu.
Sedangkan ibu mereka (istri Sa'ad) mendapat bagian seperdelapan, dan sisanya
menjadi bagian saudara kandung Sa'ad.
Dalam riwayat lain, yang
dikeluarkan oleh Imam ath-Thabari, dikisahkan bahwa Abdurrahman bin Tsabit
wafat dan meninggalkan seorang istri dan lima saudara perempuan. Namun, seluruh
harta peninggalan Abdurrahman bin Tsabit dikuasai dan direbut oleh kaum
laki-laki dari kerabatnya. Ummu Kahhah (istri Abdurrahman) lalu mengadukan
masalah ini kepada Nabi saw., maka turunlah ayat waris sebagai jawaban
persoalan itu.
Masih ada sederetan riwayat sahih
yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat waris ini. Semua riwayat tersebut
tidak ada yang menyimpang dari inti permasalahan, artinya bahwa turunnya ayat
waris sebagai penjelasan dan ketetapan Allah disebabkan pada waktu itu kaum
wanita tidak mendapat bagian harta warisan.
C. Kajian Terhadap Ayat – Ayat Waris
Pertama : Firman
Allah yang artinya "bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan," menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
- Apabila pewaris (orang yang meninggal) hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untuk keduanya. Anak laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan anak perempuan satu bagian.
- Apabila ahli waris berjumlah banyak, terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka bagian untuk laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan.
- Apabila bersama anak (sebagai ahli waris) ada juga ashhabul furudh, seperti suami atau istri, ayah atau ibu, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah ashhabul furudh. Setelah itu barulah sisa harta peninggalan yang ada dibagikan kepada anak. Bagi anak laki-laki dua bagian, sedangkan bagi anak perempuan satu bagian.
- Apabila pewaris hanya meninggalkan satu anak laki-laki, maka anak tersebut mewarisi seluruh harta peninggalan. Meskipun ayat yang ada tidak secara sharih (tegas) menyatakan demikian, namun pemahaman seperti ini dapat diketahui dari kedua ayat yang ada. Bunyi penggalan ayat yang dikutip sebelumnya (Butir 1) rnenunjukkan bahwa bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian anak perempuan. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat (artinya) "jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta". Dari kedua penggalan ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa bila ahli waris hanya terdiri dari seorang anak laki-laki, maka ia mendapatkan seluruh harta peninggalan pewaris.
- Adapun bagian keturunan dari anak laki-laki (cucu pewaris), jumlah bagian mereka sama seperti anak, apabila sang anak tidak ada (misalnya meninggal terlebih dahulu). Sebab penggalan ayat (artinya) "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu", mencakup keturunan anak kandung. Inilah ketetapan yang telah menjadi ijma'.
Kedua: Hukum bagian kedua orang tua. Firman Allah
(artinya): "Dan untuk dua orang ibu-hapak, bagi masing-masingnya seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam." Penggalan ayat ini
menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
- Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan seperenam bagian apabila yang meninggal mempunyai keturunan.
- Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka ibunya mendapat bagian sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Sedangkan sisanya, yakni dua per tiga menjadi bagian ayah. Hal ini dapat dipahami dari redaksi ayat yang hanya menyebutkan bagian ibu, yaitu sepertiga, sedangkan bagian ayah tidak disebutkan. Jadi, pengertiannya, sisanya merupakan bagian ayah.
- Jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai saudara (dua orang atau lebih), maka ibunya mendapat seperenam bagian. Sedangkan ayah mendapatkan lima per enamnya. Adapun saudara-saudara itu tidaklah mendapat bagian harta waris dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturan hukum waris dalam Islam dinyatakan sebagai hajib (penghalang). Jika misalnya muncul pertanyaan apa hikmah dari penghalangan saudara pewaris terhadap ibu mereka --artinya bila tanpa adanya saudara (dua orang atau lebih) ibu mendapat sepertiga bagian, sedangkan jika ada saudara kandung pewaris ibu hanya mendapatkan seperenam bagian? Jawabannya, hikmah adanya hajib tersebut dikarenakan ayahlah yang menjadi wali dalam pernikahan mereka, dan wajib memberi nafkah mereka. Sedangkan ibu tidaklah demikian. Jadi, kebutuhannya terhadap harta lebih besar dan lebih banyak dibandingkan ibu, yang memang tidak memiliki kewajiban untuk membiayai kehidupan mereka.
Ketiga: Utang orang yang meninggal lebih
didahulukan daripada wasiat. Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya." Secara zhahir
wasiat harus didahulukan ketimbang membayar utang orang yang meninggal. Namun,
secara hakiki, utanglah yang mesti terlebih dahulu ditunaikan. Jadi,
utang-utang pewaris terlebih dahulu ditunaikan, kemudian barulah melaksanakan
wasiat bila memang ia berwasiat sebelum meninggal. Inilah yang diamalkan
Rasulullah saw..
Diriwayatkan dari Ali bin Abi
Thalib: "Sesungguhnya kalian telah membaca firman Allah [tulisan Arab] dan
Rasulullah telah menetapkan dengan menunaikan utang-utang orang yang meninggal,
lalu barulah melaksanakan wasiatnya." Hikmah mendahulukan pembayaran utang
dibandingkan melaksanakan wasiat adalah karena utang merupakan keharusan yang
tetap ada pada pundak orang yang utang, baik ketika ia masih hidup ataupun
sesudah mati. Selain itu, utang tersebut akan tetap dituntut oleh orang yang
mempiutanginya, sehingga bila yang berutang meninggal, yang mempiutangi akan
menuntut para ahli warisnya.
Sedangkan wasiat hanyalah suatu
amalan sunnah yang dianjurkan, kalaupun tidak ditunaikan tidak akan ada orang
yang menuntutnya. Di sisi lain, agar manusia tidak melecehkan wasiat dan jiwa
manusia tidak menjadi kikir (khususnya para ahli waris), maka Allah SWT
mendahulukan penyebutannya.
Firman Allah (artinya) "orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu." Penggalan ayat ini dengan tegas memberi
isyarat bahwa Allah yang berkompeten dan paling berhak untuk mengatur pembagian
harta warisan. Hal ini tidak diserahkan kepada manusia, siapa pun orangnya,
cara ataupun aturan pembagiannya, karena bagaimanapun bentuk usaha manusia
untuk mewujudkan keadilan tidaklah akan mampu melaksanakannya secara sempurna.
Bahkan tidak akan dapat merealisasikan pembagian yang adil seperti yang telah ditetapkan
dalam ayat-ayat Allah.
Manusia tidak akan tahu manakah di antara orang tua
dan anak yang lebih dekat atau lebih besar kemanfaatannya terhadap seseorang,
tetapi Allah, Maha Suci Dzat-Nya, Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
Pembagian yang ditentukan-Nya pasti adil. Bila demikian, siapakah yang dapat
membuat aturan dan undang-undang yang lebih baik, lebih adil, dan lebih relevan
bagi umat manusia dan kemanusiaan selain Allah?
Firman Allah (artinya) "Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu."
Penggalan ayat tersebut menjelaskan tentang hukum waris bagi suami dan istri.
Bagi suami atau istri masing-masing mempunyai dua cara pembagian.
- Apabila seorang istri meninggal dan tidak mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat bagian separo dari harta yang ditinggalkan istrinya.
- Apabila seorang istri meninggal dan ia mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat bagian seperempat dari harta yang ditinggalkan.
- Apabila seorang suami meninggal dan dia tidak mempunyai anak (keturunan), maka bagian istri adalah seperempat.
- Apabila seorang suami meninggal dan dia mempunyai anak (keturunan), maka istri mendapat bagian seperdelapan.
Keenam:Hukum yang
berkenaan dengan hak waris saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu.
Firman-Nya (artinya): "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris).
"
Yang dimaksud ikhwah (saudara) dalam penggalan ayat
ini (an-Nisa': 12) adalah saudara laki-laki atau saudara perempuan "seibu
lain ayah". Jadi, tidak mencakup saudara kandung dan tidak pula saudara
laki-laki atau saudara perempuan "seayah lain ibu". Pengertian inilah
yang disepakati oleh ulama.
Adapun yang dijadikan dalil oleh ulama ialah bahwa
Allah SWT telah menjelaskan --dalam firman-Nya-- tentang hak waris saudara dari
pewaris sebanyak dua kali. Yang pertama dalam ayat ini, dan yang kedua pada
akhir surat an-Nisa'. Dalam ayat yang disebut terakhir ini, bagi satu saudara
mendapat seperenam bagian, sedangkan bila jumlah saudaranya banyak maka
mendapatkan sepertiga dari harta peninggalan dan dibagi secara rata.
Sementara itu, ayat akhir surat an-Nisa'
menjelaskan bahwa saudara perempuan, jika sendirian, mendapat separo harta
peninggalan, sedangkan bila dua atau lebih ia mendapat bagian dua per tiga.
Oleh karenanya, pengertian istilah ikhwah dalam ayat ini harus dibedakan dengan
pengertian ikhwah yang terdapat dalam ayat akhir surat an-Nisa' untuk
meniadakan pertentangan antara dua ayat.
Sementara itu, karena saudara kandung atau saudara
seayah kedudukannya lebih dekat --dalam urutan nasab-- dibandingkan saudara
seibu, maka Allah menetapkan bagian keduanya lebih besar dibandingkan saudara
seibu. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pengertian kata ikhwah dalam
ayat tersebut (an-Nisa': 12) adalah 'saudara seibu', sedangkan untuk kata yang
sama di dalam akhir surat an-Nisa' memiliki pengertian 'saudara kandung' atau
'saudara seayah'.
Rincian
Beberapa Keadaan Bagian Saudara Seibu
A.
Apabila seseorang meninggal dan
mempunyai satu orang saudara laki-laki seibu atau satu orang saudara perempuan
seibu, maka bagian yang diperolehnya adalah seperenam.
- Jika yang meninggal mempunyai saudara seibu dua orang atau lebih, mereka mendapatkan dua per tiga bagian dan dibagi secara rata. Sebab yang zhahir dari firman-Nya [tulisan Arab] menunjukkan adanya keharusan untuk dibagi dengan rata sama besar-kecilnya. Jadi, saudara laki-laki mendapat bagian yang sama dengan bagian saudara perempuan.
Makna
Kalaalah
Pengertian kalaalah ialah seseorang meninggal tanpa
memiliki ayah ataupun keturunan; atau dengan kata lain dia tidak mempunyai
pokok dan cabang. Kata kalaalah diambil dari kata al-kalla yang bermakna
'lemah'. Kata ini misalnya digunakan dalam kalimat kalla ar-rajulu, yang
artinya 'apabila orang itu lemah dan hilang kekuatannya'.
Ulama sepakat (ijma') bahwa kalaalah ialah
seseorang yang mati namun tidak mempunyai ayah dan tidak memiliki keturunan.
Diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., ia berkata: "Saya mempunyai
pendapat mengenai kalaalah. Apabila pendapat saya ini benar maka hanyalah dari
Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Adapun bila pendapat ini salah,
maka karena dariku dan dari setan, dan Allah terbebas dari kekeliruan tersebut.
Menurut saya, Kalaalah adalah orang yang meninggal yang tidak mempunyai ayah
dan anak. "
Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sudah dibayar utangnya dengan tidak membebani
mudarat (kepada ahli waris)". Ayat tersebut menunjukkan dengan tegas bahwa
apabila wasiat dan utang nyata-nyata mengandung kemudaratan, maka wajib untuk
tidak dilaksanakan. Dampak negatif mengenai wasiat yang dimaksudkan di sini,
misalnya, seseorang yang berwasiat untuk menyedekahkan hartanya lebih dari
sepertiga. Sedangkan utang yang dimaksud berdampak negatif, misalnya seseorang
yang mengakui mempunyai utang padahal sebenamya ia tidak berutang. Jadi, baik
wasiat atau utang yang dapat menimbulkan mudarat (berdampak negatif) pada ahli
waris tidak wajib dilaksanakan.
Hukum
Keadaan Saudara Kandung atau Seayah
Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa': 176
mengisyaratkan adanya beberapa keadaan tentang bagian saudara kandung atau
saudara seayah.
A.
Apabila seseorang meninggal dan
hanya mempunyai satu orang saudara kandung perempuan ataupun seayah, maka ahli
waris mendapat separo harta peninggalan, bila ternyata pewaris (yang meninggal)
tidak mempunyai ayah atau anak.
- Apabila pewaris mempunyai dua orang saudara kandung perempuan atau seayah ke atas, dan tidak mempunyai ayah atau anak, maka bagian ahli waris adalah dua per tiga dibagi secara rata.
- Apabila pewaris mempunyai banyak saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan atau seayah, maka bagi ahli waris yang laki-laki mendapatkan dua kali bagian saudara perempuan.
- Apabila seorang saudara kandung perempuan meninggal, dan ia tidak mempunyai ayah atau anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi bagian saudara kandung laki-lakinya. Apabila saudara kandungnya banyak --lebih dari satu-- maka dibagi secara rata sesuai jumlah kepala. Begitulah hukum bagi saudara seayah, jika ternyata tidak ada saudara laki-laki yang sekandung atau saudara perempuan yang sekandung.
1. Rofiq, Ahmad, Dr., MA., Fiqih Mawaris Edisi Revisi,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
2. Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, Jakarta : Senayan Abadi Publishing, 2004.
3. Parman, Ali, Kewarisan Dalam Al-Quran (Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik), Jakarta : PT. Raja grafindo Persada, 1995.
4. Daradjat, Zakiah, Prof., Dr., Ilmu Fiqh, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, Jilid III.
5. Lubis, Suhrawardi K., S.H., Simanjuntak, Komis, S.H, Hukum Waris Islam (Lengkap & Praktis), Jakarta : Sinar Grafika, 1995, Cet. I.
2. Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, Jakarta : Senayan Abadi Publishing, 2004.
3. Parman, Ali, Kewarisan Dalam Al-Quran (Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik), Jakarta : PT. Raja grafindo Persada, 1995.
4. Daradjat, Zakiah, Prof., Dr., Ilmu Fiqh, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, Jilid III.
5. Lubis, Suhrawardi K., S.H., Simanjuntak, Komis, S.H, Hukum Waris Islam (Lengkap & Praktis), Jakarta : Sinar Grafika, 1995, Cet. I.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar